Hutan Indonesia adalah salah satu kekayaan alam terbesar di dunia. Dengan luas lebih dari 120 juta hektare, hutan-hutan kita menyimpan beragam keanekaragaman hayati, menjadi paru-paru dunia, dan menopang kehidupan jutaan orang. Namun, di balik kekayaan itu, muncul satu pertanyaan besar: “Sebenarnya, hutan Indonesia milik siapa?“
Pertanyaan ini tidak hanya sederhana di permukaan, tapi penuh dengan dinamika hukum, sosial, dan politik yang rumit. Untuk memahami jawabannya, kita perlu menelusuri berbagai aspek mulai dari hukum negara hingga hak masyarakat adat.
Menurut Hukum Negara
Secara hukum, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, disebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini berarti bahwa secara formal, negara — melalui pemerintah — adalah pihak yang menguasai hutan Indonesia.
Namun, “dikuasai oleh negara” tidak berarti negara menjadi pemilik absolut seperti individu terhadap properti pribadi. Negara berfungsi sebagai pengelola, yang harus memastikan bahwa hutan digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir pihak.
Dalam praktiknya, pengelolaan hutan raja zeus terbaru dilakukan lewat berbagai institusi seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga terkait. Negara juga mengatur penggunaan hutan melalui izin konsesi, konservasi, dan program-program kehutanan.
Masyarakat Adat dan Hak Tradisional
Di luar pengelolaan negara, ada hak-hak tradisional yang melekat pada masyarakat adat. Banyak kelompok masyarakat adat di Indonesia sudah sejak turun-temurun hidup berdampingan dan bergantung pada hutan, jauh sebelum negara modern terbentuk.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 menjadi tonggak penting. Dalam putusan itu, Mahkamah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, masyarakat adat diakui memiliki hak atas hutan yang mereka kelola secara tradisional, asalkan keberadaan mereka diakui secara resmi.
Meski demikian, di lapangan, banyak masyarakat adat masih berjuang mendapatkan pengakuan hukum atas tanah dan hutan mereka. Proses administrasi, konflik kepentingan, hingga minimnya peta adat sering menjadi kendala.
Perusahaan dan Hak Konsesi
Sementara itu, negara juga memberikan izin konsesi kepada perusahaan swasta untuk mengelola sebagian kawasan hutan. Misalnya, untuk keperluan industri kehutanan, perkebunan sawit, tambang, atau proyek infrastruktur.
Dalam konteks ini, perusahaan bukan pemilik hutan. Mereka hanya mendapatkan hak guna usaha (HGU) atau izin pengelolaan untuk jangka waktu tertentu. Setelah masa izin berakhir, lahan harus dikembalikan kepada negara atau diperpanjang berdasarkan ketentuan hukum.
Masalah muncul ketika pengelolaan oleh perusahaan ini justru sering menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan, sehingga menimbulkan kritik terhadap bagaimana negara mengelola hutan atas nama rakyat.
Hutan untuk Siapa?
Pada akhirnya, meski secara hukum hutan dikuasai negara, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa banyak pihak merasa berhak atas hutan: negara, masyarakat adat, perusahaan, bahkan komunitas lokal.
Karena itu, muncul pertanyaan lanjutan: hutan Indonesia sebenarnya untuk siapa?
Jawabannya idealnya: untuk semua rakyat Indonesia, bukan hanya untuk kepentingan jangka pendek ekonomi, tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan generasi mendatang.
Menjaga hutan bukan hanya soal hak kepemilikan, tapi juga soal tanggung jawab bersama. Pemerintah, masyarakat adat, swasta, dan seluruh rakyat Indonesia punya peran penting dalam menjaga agar hutan tetap lestari.
BACA JUGA: Misteri Hutan Terlarang di Malaysia: Antara Mitos dan Kenyataan